|
Dampak Negatif Otonomi
Daerah Oleh
Eko Yulianto Sejak diberlakukannya paket UU mengenai Otonomi
Daerah, banyak orang sering membicarakan aspek positifnya. Memang tidak
disangkal lagi, bahwa otonomi daerah membawa perubahan positif di daerah
dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini
menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung
menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau
pinggiran. Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan
dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari
pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa.
Dengan kewenangan tersebut tampaknya banyak daerah yang optimis bakal bisa
mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut. Akan tetapi apakah di tengah-tengah optimisme itu
tidak terbersit kekhawatiran bahwa otonomi daerah juga akan menimbulkan
beberapa persoalan yang, jika tidak segera dicari pemecahannya, akan
menyulitkan upaya daerah untuk memajukan rakyatnya? Jika jawabannya tidak,
tentu akan sangat naif. Mengapa?
Karena, tanpa disadari, beberapa dampak yang tidak menguntungkan bagi
pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Sejauh pengamatan saya, setidaknya
ada dua fenomena yang mengkhawatirkan. Pertama, adanya kecenderungan
pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui pengumpulan pendapatan
daerah. Kedua, penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol alias jor-joran. Eksploitasi Pendapatan Daerah Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan
daerah yang lebih besar dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses
pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi pemanfaatan pendapatan daerah
tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa
daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan
pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus
mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun
pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai
pusat yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif
daerah. Di samping itu daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan
jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan
terjebak dalam pola tradisional dalam pemerolehan pendapatan daerah, yaitu
mengintensifkan pemungutan pajak dan retribusi. Bagi pemerintah daerah pola
ini tentu akan sangat gampang diterapkan karena kekuatan koersif yang dimiliki
oleh institusi pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable dalam negara demokratis modern. Pola peninggalan
kolonial ini menjadi sebuah pilihan utama karena ketidakmampuan pemerintah
dalam mengembangkan sifat wirausaha (enterpreneurship).
Apakah upaya intensifikasi pajak dan retribusi di
daerah itu salah? Tentu tidak. Akan tetapi yang jadi persoalan sekarang
adalah bahwa banyak pemerintah daerah yang “terlalu intensif” memungut pajak
dan retribusi dari rakyatnya. Pemerintah daerah telah “kebablasan” dalam
meminta sumbangan dari rakyat. Mau bukti? Silakan Anda hitung berapa item
pajak dan retribusi yang musti Anda bayar selaku warga daerah. Jika Anda
teliti, jumlahnya akan mencapai ratusan item. Saya sendiri bisa menyebutnya
satu persatu akan tetapi tentu tidak akan cukup untuk memuatnya dalam tulisan
singkat ini. Beberapa bulan lalu berkembang sinisme di kalangan
warga DKI Jakarta, bahwa setiap aktivitas yang mereka lakukan telah menjadi
objek pungutan Pemda DKI, sampai-sampai buang hajat pun harus membayar
retribusi. Pemda Provinsi Lampung juga bisa menjadi contoh unik ketika
menerbitkan perda tentang pungutan terhadap label sebuah produk. Logika yang
dipakai adalah bahwa label tersebut termasuk jenis papan reklame berjalan.
Lucu? Tentu saja. Karena tampaknya Pemerintah setempat tidak bisa membedakan
mana reklame, sebagai bentuk iklan, dan mana label produk yang berfungsi
sebagai identifikasi nama dan spesifikasi sebuah produk. Kedua, jika perda
tersebut diberlakukan (saya tidak begitu yakin apakah perda tersebut jadi
diberlakukan atau tidak), akan timbul kesulitan besar dalam penghitungan dan
pemungutan retribusi. Dengan dua contoh tersebut, saya hanya ingin
mengatakan bahwa upaya pemerintah daerah dalam menggali pendapatan daerah di
era otonomi ini telah melampaui batas-batas akal sehat. Di satu pihak saya
sependapat bahwa sebagai warga negara kita harus ikut berpartisipasi dalam
proses kebijakan publik dengan menyumbangkan sebagian kemampuan ekonomi yang
kita miliki melalui pajak dan retribusi. Akan tetapi, apakah setiap upaya
pemerintah daerah dalam memungut pendapatan dari rakyatnya hanya berdasarkan
justifikasi semacam itu? Tidak adakah ukuran kepantasan, sejauh mana
pemerintah daerah dapat meminta sumbangan dari rakyatnya? Bila dikaji secara matang, instensifikasi perolehan
pendapatan yang cenderung eksploitatif semacam itu justru akan banyak
mendatangkan persoalan baru dalam jangka panjang, dari pada manfaat ekonomis
jangka pendek, bagi daerah. Persoalan pertama adalah beratnya beban yang
harus ditanggung warga masyarakat. Meskipun satu item pajak atau retribusi
yang dipungut dari rakyat hanya berkisar seratus rupiah, akan tetapi jika
dihitung secara agregat jumlah uang yang harus dikeluarkan rakyat perbulan
tidaklah kecil, terutama jika pembayar pajak atau retribusi adalah orang yang
tidak mempunyai penghasilan memadai. Persoalan kedua terletak pada adanya
kontradiksi dengan upaya pemerintah daerah dalam menggerakkan perekonomian di
daerah. Bukankah secara empiris tidak terbantahkan lagi bahwa banyaknya
pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang ujung-ujungnya hanya akan
merugikan perkembangan ekonomi daerah setempat. Kalau pemerintah daerah ingin
menarik minat investor sebanyak-banyaknya, mengapa pada saat yang sama justru
mengurangi minat investor untuk berinvestasi? Korupsi di Daerah Fenomena lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran
banyak kalangan berkaitan dengan implementasi otonomi daerah adalah
bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah. Sinyalemen ini menjadi
semakin beralasan ketika terbukti bahwa banyak pejabat publik yang masih
mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk piknik ke luar
negeri dengan alasan studi banding. Juga, mulai terdengar bagaimana anggota legislatif
mulai menggunakan kekuasaannya atas eksekutif untuk menyetujui anggaran rutin
DPRD yang jauh lebih besar dari pada sebelumnya. Belum lama diberitakan di
Kompas (4/9) bagaimana legislatif Kota Yogya membagi dana 700 juta untuk 40
anggotanya atau 17,5 juta per orang dengan alasan menutup biaya operasional
dan kegiatan kesekretariatan. Mengapa harus ada bagi-bagi sisa anggaran?
Tidakkah jelas aturannya bahwa sisa anggaran seharusnya tidak dihabiskan
dengan acara bagi-bagi, melainkan harus disetorkan kembali ke Kas Daerah?
Dipandang dari kacamata apapun perilaku pejabat publik yang cenderung
menyukai menerima uang yang bukan haknya adalah tidak etis dan tidak
bermoral, terlebih jika hal itu dilakukan dengan sangat terbuka. Sumber praktik korupsi lain yang masih berlangsung
terjadi pada proses pengadaan barang-barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi
harga sebuah item barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga pasar.
Kolusi antara bagian pengadaan dan rekanan sudah menjadi hal yang jamak.
Pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah juga merupakan
bukti ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah. Hibah
dari pihak ketiga kepada pejabat daerah sudah menjadi hal biasa yang tidak
pernah diributkan dari dulu. Kalau dicermati dan dinalar, berapa kenaikan
kekayaan pejabat daerah setelah mereka menjabat posisi tertentu? Seberapa
drastis perubahan gaya hidup para pejabat publik itu? Upaya Alternatif dan Kontrol
Masyarakat Pada intinya, dua dampak negatif tersebut
seterusnya akan menjadi persoalan tersendiri, terlepas dari keberhasilan
implementasi otonomi daerah. Pilihan kebijakan yang tidak populer melalui
intensifikasi pajak dan perilaku koruptif pejabat daerah sebenarnya sudah ada
sejak lama dan akan terus berlangsung. Jika kini keduanya baru muncul
dipermukaan sekarang, tidak lain karena momentum otonomi daerah memang
memungkinkan untuk itu. Otonomi telah menciptakan kesempatan untuk
mengeksploitasi potensi daerah dan sekaligus memberi peluang bagi para “pahlawan
baru” menganggap dirinya telah berjasa di era reformasi untuk bertindak
“semau gue”. Untuk menyiasati beratnya beban anggaran,
pemerintah daerah semestinya bisa menempuh jalan alternatif, selain
intensifikasi pungutan yang cenderung membebani rakyat dan menjadi
disinsentif bagi perekonomian daerah, yaitu (1) efisiensi anggaran, dan (2)
revitalisasi perusahaan daerah. Saya sepenuhnya yakin bahwa banyak pemerintah
daerah mengetahui alternatif ini. Akan tetapi, jika keduanya bukan menjadi
prioritas pilihan kebijakan maka pemerintah pasti punya alasan lain. Dugaan
saya adalah bahwa pemerintah daerah itu malas! Pemerintah tidak mempunyai
keinginan kuat (strong will) untuk
melakukan efisiensi anggaran karena upaya ini tidak gampang. Di samping itu,
ada keengganan (inertia) untuk
berubah dari perilaku boros menjadi hemat. Upaya revitalisasi perusahaan daerah pun kurang
mendapatkan porsi yang memadai karena kurangnya sifat kewirausahaan
pemerintah. Sudah menjadi hakekatnya bahwa pemerintah cenderung melakukan
kegiatan atas dasar kekuatan paksa hukum, dan tidak berdasarkan
prinsip-prinsip pasar, sehingga ketika dihadapkan pada situasi yang bermuatan
bisnis, pemerintah tidak bisa menjalankannya dengan baik. Salah satu cara
untuk mengatasi hal ini pemerintah daerah bisa menempuh jalan dengan
menyerahkan pengelolaan perusahaan daerah kepada swasta melalui privatisasi. Dalam kaitannya dengan persoalan korupsi,
keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah juga
perlu diupayakan. Saya punya hipotesis bahwa pemerintah daerah atau pejabat
publik lainnya, termasuk legislatif, pada dasarnya kurang bisa dipercaya,
lebih-lebih untuk urusan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah.
Tidak pernah sekalipun terdengar ada institusi pemerintahan, termasuk di
daerah yang terbebas dari penyalahgunaan uang rakyat. Masyarakat harus turut
aktif dalam menangkal perilaku korupsi di kalangan pejabat publik, yang
jumlahnya hanya segelintir dibandingkan dengan jumlah rakyat pembayar pajak
yang diwakilinya. Rakyat boleh menarik mandat jika wakil rakyat justru
bertindak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan mengkhianati nurani
keadilan masyarakat. Begitu juga, akhirnya seorang kepala daerah atau pejabat
publik lain bisa diminta turun jika dalam melaksanakan tugasnya terbukti
melakukan pelanggaran serius, yaitu korupsi dan menerima suap atawa hibah
dalam kaitan jabatan yang dipangkunya! Jakarta, |
|