KORUPSI: REFLEKSI SEBUAH PERSOALAN BESAR DI BIDANG KEUANGAN NEGARA

Oleh Eko Yulianto

 

   S

etiap tahun Transparency International, sebuah lembaga penelitian internasional bermarkas di Dublin Jerman, mempublikasikan hasil penelitian tentang persepsi tingkat korupsi negara-negara di dunia. Dan tahun ini, seperti tahun sebelumnya, Indonesia masih memegang rekor sebagai negara dengan tingkat korupsi paling tinggi di dunia. Dari 85 negara yang diteliti Indonesia masih tergolong dalam lima negara yang mempunyai rekor terburuk dalam hal korupsi bersama Nigeria, Yugoslavia, Uzbekistan dan Azerbaijan.

            Beberapa tahun lalu, semasa rezim Orde Baru masih berkuasa, berbagai respons bermunculan ketika publikasi seperti ini terekspos di media cetak di Tanah Air. Sebagian masyarakat terkaget-kaget, sebagian mahfum dan sebagian lagi berkomentar miring alias setengah memprotes hasil penelitian tersebut. Bisa diduga bahwa golongan yang protes terutama berasal dari kalangan birokrat. Berbagai argumen lalu dilontarkan untuk menepis keabsahan hasil penelitian tersebut. Seorang pejabat Bappenas ketika itu bahkan menyatakan bahwa parameter yang digunakan dalam penelitian belum tentu valid dan cocok untuk kondisi di Indonesia dan hasil penelitian itu dipublikasikan hanya untuk mendeskreditkan posisi Indonesia di mata internasional. Dengan kata lain, pejabat tersebut hanya ingin membela diri bahwa yang namanya korupsi di Indonesia tidak separah seperti yang dilaporkan oleh lembaga internasional itu. Akan tetapi apa lacur sejarah akhirnya memberi pelajaran berharga atas penyangkalan ini, setelah jatuh mantan bosnya kini justru  tengah menjalani peradilan kasus penyelahgunaan wewenang alias korupsi yang terbesar dalam sejarah Indonesia. Sebuah kenyataan yang menggelikan.

            Sebenarnya tanpa ada penelitian tersebut seharusnya sudah bisa diakui bahwa Indonesia pantas mendapatkan predikat tersebut karena di sini memang gudangnya penyamun. Terpaan krisis ekonomi yang berkepanjangan ini setidaknya bisa menjadi cermin betapa birokrasi telah menjadi sumber perilaku koruptif para birokrat dan pengusaha dan terjadi tidak saja di tingkat pusat melainkan juga di tataran yang paling bawah sekalipun. Bank-bank tidak akan ambruk jika tidak ada kolusi antara pejabat perbankan dan pemerintah. Begitu juga sinyalemen kebocoran anggaran sebesar 30 persen  tidak akan terjadi jika tidak ada mark up proyek pemerintah. Kenyataan seperti ini seharusnya sudah bisa dijadikan ukuran yang sangat relevan untuk menilai apakah Indonesia pantas disebut sebagai negara koruptor atau bukan.

            Dalam kaitan ini sesungguhnya ada dua hal yang paling menarik yaitu perihal rekor dan respons. Di satu sisi rekor menjadi hal menarik karena pada setiap publikasi yang dimulai beberapa tahun lalu, Indonesia selalu konsisten dengan peringkat yang diperolehnya yakni termasuk lima besar negara dengan tingkat persepsi korupsi paling buruk di dunia. Uniknya lagi, pergantian rezim ternyata juga tidak sedikitpun membawa perbaikan. Predikat negara koruptor terbesar tidak saja disandang ketika era Soeharto akan tetapi juga era Habibie dan sekarang Gus Dur. Runtuhnya rezim Orde Baru oleh gelombang reformasi ternyata bukan jaminan berkurangnya praktik korupsi di negeri ini. Dalam masa demokrasi saat ini praktik money politics tetap saja marak dan bahkan semakin dahsyat. Gejala itu tampak nyata ketika sebagian masyarakat mempersoalkan proses pemilihan gubernur maupun bupati/walikota setempat. Sementara di sisi lain publikasi yang memalukan itu ternyata hanya ditanggapi secara dingin (atau bahkan tidak ditanggapi sama sekali) oleh hampir sebagian besar politisi atau pemangku jabatan publik kita. Tentu saja hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan besar: Mengapa korupsi terus saja menggerus kehidupan bangsa Indonesia? Mengapa para elit tidak bergeming menghadapi kenyataan yang memalukan ini? Dan sampai kapan kita bertahan dengan pola birokrasi yang koruptif?

Persoalan Dasar di Bidang Keuangan Negara

            Tidak ada jawaban yang pasti atas pertanyaan itu. Tampaknya para elit pun cenderung lebih suka membicarakan hal-hal politik lain ketimbang mengurusi persoalan korupsi secara serius, apalagi beberapa minggu terakhir pemerintah disibukkan dengan masalah Aceh, pengungsi Timor Timur, kematian sukarelawan PBB di Atambua, pengeboman BEJ dan serentetan persoalan lain yang sifatnya krisis sesaat. Agaknya ada pula kecenderungan untuk menyederhanakan soal korupsi ini hanya melulu soal penegakan hukum, yang sampai detik ini justru menjadi persoalan tersendiri. Penulis berpendapat bahwa sistem hukum memang bisa dikatakan sebagai pilar terakhir yang dapat diharapkan dalam pemberantasan praktik yang merugikan itu. Akan tetapi ada hal yang tidak boleh dilupakan yaitu bahwa proses hukum hanya akan efektif jika didukung oleh sistem lain yang memungkinkan pencegahan dini terhadap tindak korupsi. Jika tidak, sistem hukum hanya akan menjadi “pencuci darah kotor” dan hal ini akan menjadi beban berat yang tidak tertanggungkan oleh sistem hukum kita. Dalam konteks ini yang harus dipertimbangkan terlebih dahulu bukanlah pemaksaan terhadap sistem hukum untuk membersihkan negara dari praktik-praktik korupsi. Pemberlakuan Undang-Undang Anti Korupsi atau pun pembentukan Komite Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) juga belum menjadi jaminan dalam mengurangi praktik korupsi secara signifikan, apabila sistem hukum kita masih compang-camping. Oleh karena itu yang justru harus dipikirkan sekarang adalah bagaimana mengurangi penyebab utama maraknya perilaku korupsi dan ini berkaitan langsung dengan pembentukan sistem administrasi, pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan negara yang efektif dan efisien.

            Dalam pandangan penulis, pengelolaan keuangan negara pada hakekatnya memegang peranan yang teramat penting dalam menentukan akuntabilitas publik. Keandalan (reliability) sistem administrasi keuangan negera sebenarnya juga bisa diukur dari efektivitasnya dalam menekan tingkat kebocoran anggaran sebagai akibat adanya perilaku dan praktik korupsi. Indikatornya, jika tingkat korupsi tinggi berarti ada sesuatu yang salah dengan sistem administrasi keuangan negara. Jadi ada korelasi kuat antara keandalan sistem administrasi keuangan negara dan kebocoran anggaran maupun tingkat korupsi. Dari logika semacam ini dapat disimpulkan bahwa persoalan penegakan hukum bukanlah satu-satunya kambing hitam dari merajalelanya korupsi di Indonesia. Juga, ia bukanlah satu-satunya solusi yang manjur untuk mengobati penyakit ekonomi yang kronis ini. Perhatian kita kini harus mulai diarahkan pada bagaimana praktik pengelolaan kekayaan negara selama ini berjalan: apakah sistemnya cukup andal untuk melaporkan kompleksitas aktivitas keuangan negara dan apakah sistem tersebut cukup efektif untuk melindungi aset negara dari kerugian akibat perilaku para pencoleng berbaju birokrat?

            Jika perhatian kita arahkan pada aspek tersebut, tampak dengan jelas bahwa sistem keuangan negara kita memang harus mulai dipertanyakan karena fakta menunjukkan bahwa  sistem tersebut tidak bisa menjamin keamanan atas kekayaan negara. Menurut penulis setidaknya ada tiga persoalan besar dalam bidang ini yaitu (1) kurang memadainya sistem akuntansi pemerintah yang kini diterapkan, (2) belum diberlakukannya paket undang-undang yang menjamin pelaksanaan keuangan negara yang efektif dan efisien, dan (3) amburadulnya desain sistem pengawasan keuangan negara.       

Sistem Akuntansi Pemerintah

            Jika dipelajari secara seksama, sistem akuntansi keuangan negara yang dipakai pemerintah kita saat ini sangat sederhana. Kesederhanaan ini terlihat dengan pemakaian pola anggaran dan realisasi. Pola ini hanya membatasi aktivitas keuangan pemerintah yang sebenarnya sangat kompleks hanya dengan penetapan target pada awal tahun anggaran dan pelaporan realisasinya pada akhir tahun anggaran. Dapat dilihat bahwa dalam struktur APBN pemerintah hanya melaporkan anggaran pendapatan dan belanja pembangunan dalam satu tahun saja dan masing-masing APBN disusun dengan tidak memperhatikan kesinambungan dengan APBN tahun sebelumnya.

            Di samping itu, akuntansi pemerintah ini hanya menggunakan sistem pencatatan tunggal (single entry), di mana pencatatan suatu transaksi tidak dibarengi dengan transaksi tandingan, sehingga pertanggungjawaban (accountability) dari setiap transaksi yang tercatat menjadi sulit diukur. Pencatatan hanya dilakukan ketika ada kas masuk dan kas keluar (cash basis). Dengan model seperti ini, yang dilakukan pemerintah di satu sisi hanya berkisar persoalan bagaimana mengejar target pendapatan yang telah ditetapkan melalui pemungutan pajak, penjualan minyak dan gas, dan mendorong kinerja ekspor. Di sisi lain, pemerintah pun akan mengupayakan bagaimana merealisasikan pengeluaran yang telah direncanakan, misalnya untuk pembayaran gaji pegawai negeri, pembangunan proyek, program JPS dan jenis pengeluaran lain yang terkadang sangat konsumtif.

            Kelemahan yang paling fundamental dari sistem akuntansi semacam ini antara lain (1) tidak mampu melaporkan posisi keuangan negara secara tepat, (2) tidak mendorong efisiensi pelaksanaan keuangan negara, (3) tidak mendorong akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Ketidakmampuan untuk menyajikan neraca pemerintah bisa menjadi sebuah persoalan karena kekayaan dan kewajiban pemerintah tidak dapat diketahui secara pasti. Jika sistem akuntansi pemerintah saat ini masih dipertahankan, akan ada kesulitan besar dalam melaporkan aset negara yang selama ini tidak tercatat (off budget) yang akhir-akhir ini banyak diributkan. Apakah mungkin memasukkan dana reboisasi, dana yayasan, dan dana-dana lain yang selama ini tidak tercatat ke dalam struktur APBN yang isinya hanya bersifat angka target (budget)? Layakkah suatu kekayaan negara yang keberadaannya sudah jelas, baik posisi maupun jumlahnya, kemudian dilaporkan dalam anggaran?

            Sistem akuntansi pemerintah saat ini dikatakan tidak mendorong efisiensi pengelolaan keuangan negara karena metode pencatatanya yang cash basis. Seperti dijelaskan semula, usaha pemerintah dalam hal ini hanya mengejar target baik pendapatan maupun pengeluaran. Model akuntansi seperti ini jelas akan mendorong perilaku birokrasi yang lebih mengarah pada budget maximizing. Pada saat penyusunan anggaran, ada kecenderungan untuk menaikkan jumlah anggaran atau harga proyek oleh hampir semua instansi pemerintah dan pada akhir tahun juga ada kecenderungan lain yakni menghabiskan anggaran yang tersisa dengan membeli barang yang tidak perlu atau bahkan menjadikannya sebagai objek jarahan di antara para pejabat alias dibagi-bagi. Peluang-peluang semacam inilah yang akhirnya menumbuhsuburkan iklim koruptif di kalangan birokrat. Jadi, tidak diragukan lagi sistem ini tidak memacu pemerintah untuk menabung dan menghemat pengeluaran negara (kapan mau kaya?).

            Kelemahan fundamental ketiga berkaitan dengan sistem pencatatan tunggal (single entry) yang dianut dalam pencatatan. Dengan sistem ini bendaharawan hanya mencatat pengeluaran kas, misalnya untuk pembangunan gedung, tanpa ada catatan yang dibuat secara langsung tentang pertambahan nilai kekayaan pemerintah. Kekayaan dilaporkan secara terpisah dalam sebuah daftar lain dan dibuat pada kesempatan lain pula. Daftar kekayaan ini, yang seringkali tidak lengkap, dibuat sebagai lampiran pertanggungjawaban eksekutif yang nota bene lampiran ini tidak bisa dikaitkan langsung dengan segala pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran pemerintah tersebut. Kombinasi antara metode single entry dan cash basis semacam inilah yang kemudian menjadi akar persoalan akuntabilitas keuangan negara.

Perlu Penerapan Paket Undang-Undang Keuangan Negara yang Baru

            Rasanya tidak cukup tempat untuk menjelaskan kelemahan teknis yang dikandung oleh sistem akuntansi pemerintah kita, akan tetapi secara singkat dapat dikatakan bahwa kelemahan-kelemahan itu sebetulnya hanya sebuah konsekuensi dari belum adanya peraturan perundang-undangan yang mutakhir di bidang pengelolaan dan pengawasan keuangan keuangan negara. Selama ini Indonesia masih menerapkan undang-undang perbendaharaaan negara buatan Belanda, yakni ICW (Indische Comptabiliteits Wet) yang mulai diberlakukan sejak kita belum merdeka. Adalah sebuah keanehan sebenarnya jika pada era yang modern Indonesia masih menggunakan produk hukum kolonial yang secara material sudah tidak up to date dan relevan dengan kompleksitas pengelolaan keuangan negara saat ini. Departemen Keuangan memang pernah berusaha membuat peraturan baru khas Indonesia akan tetapi sampai saat ini tampaknya belum selesai dengan alasan yang tidak jelas.

            Di samping itu, kegiatan pengawasan keuangan negara sendiri juga belum diatur secara tegas dalam undang-undang, sehingga menyulitkan pemerintah sendiri dalam melakukan kegiatan pengawasan. Ketiadaan undang-undang ini setidaknya juga menjadi penyebab tidak jelasnya struktur pengawasan keuangan selama ini. Ada kesan kuat bahwa sistem pengawasan di Indonesia tidak dapat berjalan secara efektif, terbukti dari masih bercokolnya Indonesia pada posisi teratas koruptor dunia. Overlapping kegiatan pemeriksaan antarintansi pengawasan juga menjadi salah satu konsekuensi dari belum adanya aturan yang jelas dan tegas.

            Selama ini kita mengenal adanya aparat pengawasan seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal, Inspektur Wilayah dan lain sebagainya. Di antara instansi-instansi tersebut, BPK merupakan satu-satunya lembaga tinggi negara yang secara normatif berdiri sejajar dan sekaligus independen dari campur tangan pemerintah sehingga ia mempunyai otoritas tertinggi dalam pengawasan dan pemeriksaan keuangan negara. Sementara aparat pengawasan lainnya berada dalam jalur eksekutif atau dibawah Presiden. Di masa lalu peran BPK yang sangat minor karena secara riil lembaga ini sengaja dibatasi ruang geraknya oleh eksekutif, yang pada masa Orde Baru sedemikian powerful. Pada era ini peran BPK memang sudah mulai tampak walaupun belum mampu berfungsi secara optimal.

            Persoalan yang kemudian muncul dalam kaitannya ini justru berasal dari keberadaan aparat pengawasan intern yang berada di jalur eksekutif.  Dikatakan sebagai sebuah persoalan, karena secara teoretis keberadaannya tidak logis, yakni berada di bawah eksekutif sebagai pelaksana fungsi-fungsi pemerintahan. Ada sebuah prinsip yang dilanggar yaitu independensi. Meskipun pemerintah secara intern memerlukan pengawasan, namun tidak seharusnya unit pengawasan tersebut berada dalam struktur organisasinya. Kegiatan yang perlu dilakukan pemerintah dalam hal ini semestinya hanya bersifat pengendalian sehingga aktivitas evaluasi atas kinerja pemerintah harus dilakukan oleh organisasi di luar struktur eksekutif agar lebih objektif. Jika tidak, unit pengawasan yang ada tidak akan efektif dalam melaksanakan funginya. Contoh riil dari ketidakefektifan pola ini, yakni ketika BPKP mengekspos temuan penyimpangan dana Jamsostek semasa Abdul Latief menjabat sebagai Menaker. Ketika itu Presiden Soeharto langsung ”mengambil alih” penyelesaiannya dan akhirnya kasus itu memang selesai ‘tanpa bekas’, alias tidak jelas juntrungnya karena ia secara tidak langsung juga bertanggung jawab atas penyimpangan tersebut.

Penutup

            Memang kajian sekitar keuangan negara terhitung sangat jarang dipublikasikan bila dibandingkan dengan kajian ekonomi politik kontemporer seperti skema pengembalian BLBI, memahami Presiden dan perilaku para kaum elit politik kita dan kajian-kajian lainnya yang tampaknya lebih populer. Namun demikian isu-isu seputar keuangan negara ini juga tidak sepatutnya jika dikesampingkan karena penyelesaian atas persoalan dasar yang dihadapi dalam pengelolaan dan pengawasan keuangan negara pada hakekatnya juga akan mempunyai dampak politis dan ekonomi yang signifikan, untuk tidak menyebutkan sebagai dahsyat. Keyakinan ini muncul karena maraknya korupsi menjadi salah satu persoalan besar jika demokrasi menjadi sebuah jalan yang kita pilih, sedangkan salah kunci sukses demokratisasi ialah adanya akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik mensyaratkan adanya ketertiban dan transparansi pengelolaan keuangan negara dan kondisi ini hanya dapat dicapai jika sistem pengelolaan keuangan pemerintahan benar-benar andal dan solid. Dan sampai titik ini kita sedang menghadapi persoalan serius karena sistem akuntansi yang tengah kita anut tidak menjamin akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan publik.

            Dengan demikian, pemberlakukan sistem akuntansi baru yang memungkinkan pemerintah dapat melaporkan setiap aktivitas dan transaksi keuangan negara secara bertanggung jawab (accountable) menjadi sebuah pilihan yang harus diambil saat ini. Sistem tersebut setidaknya mampu menjadi media untuk melaporkan seluruh kekayaan dan kewajiban pemerintah sehingga dari sana akan dapat diketahui kekuatan keuangan negara secara memadai. Pemerintah juga harus segera memberlakukan sebuah paket perundang-undangan baru sebagai landasan yuridis dalam pengelolaan keuangan negara dan kegiatan pengawasan terhadap pelaksanaan keuangan negara. Di samping itu, reformasi atau reposisi aparat pengawasan fungsional juga harus menjadi agenda utama dalam rangka menciptakan struktur pengawasan yang efisien dan efektif dalam menjaga aset negara dari jarahan koruptor.

 

Jakarta, 16 September 2000