|
KORUPSI: REFLEKSI SEBUAH PERSOALAN BESAR DI BIDANG KEUANGAN NEGARA Oleh Eko Yulianto S etiap tahun Transparency International, sebuah
lembaga penelitian internasional bermarkas di Dublin Jerman, mempublikasikan
hasil penelitian tentang persepsi tingkat korupsi negara-negara di dunia. Dan
tahun ini, seperti tahun sebelumnya, Beberapa tahun lalu, semasa rezim
Orde Baru masih berkuasa, berbagai respons bermunculan ketika publikasi
seperti ini terekspos di media cetak di Tanah Air. Sebagian masyarakat
terkaget-kaget, sebagian mahfum dan sebagian lagi berkomentar miring alias
setengah memprotes hasil penelitian tersebut. Bisa diduga bahwa golongan yang
protes terutama berasal dari kalangan birokrat. Berbagai argumen lalu
dilontarkan untuk menepis keabsahan hasil penelitian tersebut. Seorang
pejabat Bappenas ketika itu bahkan menyatakan bahwa parameter yang digunakan
dalam penelitian belum tentu valid dan cocok untuk kondisi di Sebenarnya tanpa ada penelitian
tersebut seharusnya sudah bisa diakui bahwa Indonesia pantas mendapatkan
predikat tersebut karena di sini memang gudangnya penyamun. Terpaan krisis
ekonomi yang berkepanjangan ini setidaknya bisa menjadi cermin betapa
birokrasi telah menjadi sumber perilaku koruptif para birokrat dan pengusaha
dan terjadi tidak saja di tingkat pusat melainkan juga di tataran yang paling
bawah sekalipun. Bank-bank tidak akan ambruk jika tidak ada kolusi antara
pejabat perbankan dan pemerintah. Begitu juga sinyalemen kebocoran anggaran
sebesar 30 persen tidak akan terjadi
jika tidak ada mark up proyek
pemerintah. Kenyataan seperti ini seharusnya sudah bisa dijadikan ukuran yang
sangat relevan untuk menilai apakah Indonesia pantas disebut sebagai negara
koruptor atau bukan. Dalam kaitan ini sesungguhnya ada
dua hal yang paling menarik yaitu perihal rekor dan respons. Di satu sisi
rekor menjadi hal menarik karena pada setiap publikasi yang dimulai beberapa
tahun lalu, Indonesia selalu konsisten dengan peringkat yang diperolehnya
yakni termasuk lima besar negara dengan tingkat persepsi korupsi paling buruk
di dunia. Uniknya lagi, pergantian rezim ternyata juga tidak sedikitpun
membawa perbaikan. Predikat negara koruptor terbesar tidak saja disandang
ketika era Soeharto akan tetapi juga era Habibie dan sekarang Gus Dur.
Runtuhnya rezim Orde Baru oleh gelombang reformasi ternyata bukan jaminan
berkurangnya praktik korupsi di negeri ini. Dalam masa demokrasi saat ini
praktik money politics tetap saja
marak dan bahkan semakin dahsyat. Gejala itu tampak nyata ketika sebagian
masyarakat mempersoalkan proses pemilihan gubernur maupun bupati/walikota
setempat. Sementara di sisi lain publikasi yang memalukan itu ternyata hanya
ditanggapi secara dingin (atau bahkan tidak ditanggapi sama sekali) oleh
hampir sebagian besar politisi atau pemangku jabatan publik kita. Tentu saja
hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan besar: Mengapa korupsi terus saja
menggerus kehidupan bangsa Indonesia? Mengapa para elit tidak bergeming
menghadapi kenyataan yang memalukan ini? Dan sampai kapan kita bertahan
dengan pola birokrasi yang koruptif? Persoalan Dasar di Bidang Keuangan Negara Tidak ada jawaban yang pasti atas
pertanyaan itu. Tampaknya para elit pun cenderung lebih suka membicarakan
hal-hal politik lain ketimbang mengurusi persoalan korupsi secara serius,
apalagi beberapa minggu terakhir pemerintah disibukkan dengan masalah Aceh,
pengungsi Timor Timur, kematian sukarelawan PBB di Atambua, pengeboman BEJ
dan serentetan persoalan lain yang sifatnya krisis sesaat. Agaknya ada pula
kecenderungan untuk menyederhanakan soal korupsi ini hanya melulu soal
penegakan hukum, yang sampai detik ini justru menjadi persoalan tersendiri.
Penulis berpendapat bahwa sistem hukum memang bisa dikatakan sebagai pilar
terakhir yang dapat diharapkan dalam pemberantasan praktik yang merugikan
itu. Akan tetapi ada hal yang tidak boleh dilupakan yaitu bahwa proses hukum
hanya akan efektif jika didukung oleh sistem lain yang memungkinkan
pencegahan dini terhadap tindak korupsi. Jika tidak, sistem hukum hanya akan
menjadi “pencuci darah kotor” dan hal ini akan menjadi beban berat yang tidak
tertanggungkan oleh sistem hukum kita. Dalam konteks ini yang harus
dipertimbangkan terlebih dahulu bukanlah pemaksaan terhadap sistem hukum
untuk membersihkan negara dari praktik-praktik korupsi. Pemberlakuan
Undang-Undang Anti Korupsi atau pun pembentukan Komite Pemeriksa Kekayaan
Pejabat Negara (KPKPN) juga belum menjadi jaminan dalam mengurangi praktik
korupsi secara signifikan, apabila sistem hukum kita masih compang-camping.
Oleh karena itu yang justru harus dipikirkan sekarang adalah bagaimana
mengurangi penyebab utama maraknya perilaku korupsi dan ini berkaitan
langsung dengan pembentukan sistem administrasi, pelaksanaan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan negara yang efektif dan efisien. Dalam pandangan penulis,
pengelolaan keuangan negara pada hakekatnya memegang peranan yang teramat
penting dalam menentukan akuntabilitas publik. Keandalan (reliability) sistem administrasi keuangan negera sebenarnya juga
bisa diukur dari efektivitasnya dalam menekan tingkat kebocoran anggaran
sebagai akibat adanya perilaku dan praktik korupsi. Indikatornya, jika
tingkat korupsi tinggi berarti ada sesuatu yang salah dengan sistem
administrasi keuangan negara. Jadi ada korelasi kuat antara keandalan sistem
administrasi keuangan negara dan kebocoran anggaran maupun tingkat korupsi.
Dari logika semacam ini dapat disimpulkan bahwa persoalan penegakan hukum
bukanlah satu-satunya kambing hitam dari merajalelanya korupsi di Indonesia.
Juga, ia bukanlah satu-satunya solusi yang manjur untuk mengobati penyakit
ekonomi yang kronis ini. Perhatian kita kini harus mulai diarahkan pada
bagaimana praktik pengelolaan kekayaan negara selama ini berjalan: apakah
sistemnya cukup andal untuk melaporkan kompleksitas aktivitas keuangan negara
dan apakah sistem tersebut cukup efektif untuk melindungi aset negara dari
kerugian akibat perilaku para pencoleng berbaju birokrat? Jika perhatian kita arahkan pada
aspek tersebut, tampak dengan jelas bahwa sistem keuangan negara kita memang
harus mulai dipertanyakan karena fakta menunjukkan bahwa sistem tersebut tidak bisa menjamin
keamanan atas kekayaan negara. Menurut penulis setidaknya ada tiga persoalan
besar dalam bidang ini yaitu (1) kurang memadainya sistem akuntansi
pemerintah yang kini diterapkan, (2) belum diberlakukannya paket undang-undang
yang menjamin pelaksanaan keuangan negara yang efektif dan efisien, dan (3)
amburadulnya desain sistem pengawasan keuangan negara. Sistem Akuntansi Pemerintah Jika dipelajari secara seksama,
sistem akuntansi keuangan negara yang dipakai pemerintah kita saat ini sangat
sederhana. Kesederhanaan ini terlihat dengan pemakaian pola anggaran dan
realisasi. Pola ini hanya membatasi aktivitas keuangan pemerintah yang
sebenarnya sangat kompleks hanya dengan penetapan target pada awal tahun
anggaran dan pelaporan realisasinya pada akhir tahun anggaran. Dapat dilihat
bahwa dalam struktur APBN pemerintah hanya melaporkan anggaran pendapatan dan
belanja pembangunan dalam satu tahun saja dan masing-masing APBN disusun
dengan tidak memperhatikan kesinambungan dengan APBN tahun sebelumnya. Di samping itu, akuntansi
pemerintah ini hanya menggunakan sistem pencatatan tunggal (single entry), di mana pencatatan
suatu transaksi tidak dibarengi dengan transaksi tandingan, sehingga
pertanggungjawaban (accountability) dari
setiap transaksi yang tercatat menjadi sulit diukur. Pencatatan hanya
dilakukan ketika ada kas masuk dan kas keluar (cash basis). Dengan model seperti ini, yang dilakukan pemerintah
di satu sisi hanya berkisar persoalan bagaimana mengejar target pendapatan
yang telah ditetapkan melalui pemungutan pajak, penjualan minyak dan gas, dan
mendorong kinerja ekspor. Di sisi lain, pemerintah pun akan mengupayakan
bagaimana merealisasikan pengeluaran yang telah direncanakan, misalnya untuk
pembayaran gaji pegawai negeri, pembangunan proyek, program JPS dan jenis
pengeluaran lain yang terkadang sangat konsumtif. Kelemahan yang paling fundamental
dari sistem akuntansi semacam ini antara lain (1) tidak mampu melaporkan
posisi keuangan negara secara tepat, (2) tidak mendorong efisiensi
pelaksanaan keuangan negara, (3) tidak mendorong akuntabilitas pengelolaan
keuangan negara. Ketidakmampuan untuk menyajikan neraca pemerintah bisa
menjadi sebuah persoalan karena kekayaan dan kewajiban pemerintah tidak dapat
diketahui secara pasti. Jika sistem akuntansi pemerintah saat ini masih
dipertahankan, akan ada kesulitan besar dalam melaporkan aset negara yang
selama ini tidak tercatat (off budget)
yang akhir-akhir ini banyak diributkan. Apakah mungkin memasukkan dana
reboisasi, dana yayasan, dan dana-dana lain yang selama ini tidak tercatat ke
dalam struktur APBN yang isinya hanya bersifat angka target (budget)? Layakkah suatu kekayaan
negara yang keberadaannya sudah jelas, baik posisi maupun jumlahnya, kemudian
dilaporkan dalam anggaran? Sistem akuntansi pemerintah saat
ini dikatakan tidak mendorong efisiensi pengelolaan keuangan negara karena
metode pencatatanya yang cash basis. Seperti
dijelaskan semula, usaha pemerintah dalam hal ini hanya mengejar target baik
pendapatan maupun pengeluaran. Model akuntansi seperti ini jelas akan
mendorong perilaku birokrasi yang lebih mengarah pada budget maximizing. Pada saat penyusunan anggaran, ada
kecenderungan untuk menaikkan jumlah anggaran atau harga proyek oleh hampir
semua instansi pemerintah dan pada akhir tahun juga ada kecenderungan lain
yakni menghabiskan anggaran yang tersisa dengan membeli barang yang tidak
perlu atau bahkan menjadikannya sebagai objek jarahan di antara para pejabat
alias dibagi-bagi. Peluang-peluang semacam inilah yang akhirnya
menumbuhsuburkan iklim koruptif di kalangan birokrat. Jadi, tidak diragukan
lagi sistem ini tidak memacu
pemerintah untuk menabung dan menghemat pengeluaran negara (kapan mau kaya?).
Kelemahan fundamental ketiga
berkaitan dengan sistem pencatatan tunggal (single entry) yang dianut dalam pencatatan. Dengan sistem ini
bendaharawan hanya mencatat pengeluaran kas, misalnya untuk pembangunan
gedung, tanpa ada catatan yang dibuat secara langsung tentang pertambahan
nilai kekayaan pemerintah. Kekayaan dilaporkan secara terpisah dalam sebuah
daftar lain dan dibuat pada kesempatan lain pula. Daftar kekayaan ini, yang
seringkali tidak lengkap, dibuat sebagai lampiran pertanggungjawaban
eksekutif yang nota bene lampiran
ini tidak bisa dikaitkan langsung dengan segala pertanggungjawaban penerimaan
dan pengeluaran pemerintah tersebut. Kombinasi antara metode single entry dan cash basis semacam inilah yang kemudian menjadi akar persoalan
akuntabilitas keuangan negara. Perlu Penerapan Paket Undang-Undang Keuangan Negara
yang Baru Rasanya tidak cukup tempat untuk
menjelaskan kelemahan teknis yang dikandung oleh sistem akuntansi pemerintah
kita, akan tetapi secara singkat dapat dikatakan bahwa kelemahan-kelemahan
itu sebetulnya hanya sebuah konsekuensi dari belum adanya peraturan
perundang-undangan yang mutakhir di bidang pengelolaan dan pengawasan
keuangan keuangan negara. Selama ini Indonesia masih menerapkan undang-undang
perbendaharaaan negara buatan Belanda, yakni ICW (Indische Comptabiliteits Wet) yang mulai diberlakukan sejak kita
belum merdeka. Adalah sebuah
keanehan sebenarnya jika pada era yang modern Indonesia masih menggunakan
produk hukum kolonial yang secara material sudah tidak up to date dan relevan dengan kompleksitas pengelolaan keuangan
negara saat ini. Departemen Keuangan memang pernah berusaha membuat peraturan
baru khas Indonesia akan tetapi sampai saat ini tampaknya belum selesai
dengan alasan yang tidak jelas. Di samping itu, kegiatan
pengawasan keuangan negara sendiri juga belum diatur secara tegas dalam
undang-undang, sehingga menyulitkan pemerintah sendiri dalam melakukan
kegiatan pengawasan. Ketiadaan undang-undang ini setidaknya juga menjadi
penyebab tidak jelasnya struktur pengawasan keuangan selama ini. Ada kesan
kuat bahwa sistem pengawasan di Indonesia tidak dapat berjalan secara
efektif, terbukti dari masih bercokolnya Indonesia pada posisi teratas
koruptor dunia. Overlapping kegiatan
pemeriksaan antarintansi pengawasan juga menjadi salah satu konsekuensi dari
belum adanya aturan yang jelas dan tegas. Selama ini kita mengenal adanya
aparat pengawasan seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal, Inspektur Wilayah dan
lain sebagainya. Di antara instansi-instansi tersebut, BPK merupakan
satu-satunya lembaga tinggi negara yang secara normatif berdiri sejajar dan
sekaligus independen dari campur tangan pemerintah sehingga ia mempunyai
otoritas tertinggi dalam pengawasan dan pemeriksaan keuangan negara.
Sementara aparat pengawasan lainnya berada dalam jalur eksekutif atau dibawah
Presiden. Di masa lalu peran BPK yang sangat minor karena secara riil lembaga
ini sengaja dibatasi ruang geraknya oleh eksekutif, yang pada masa Orde Baru
sedemikian powerful. Pada era ini
peran BPK memang sudah mulai tampak walaupun belum mampu berfungsi secara
optimal. Persoalan yang kemudian muncul
dalam kaitannya ini justru berasal dari keberadaan aparat pengawasan intern
yang berada di jalur eksekutif.
Dikatakan sebagai sebuah persoalan, karena secara teoretis
keberadaannya tidak logis, yakni berada di bawah eksekutif sebagai pelaksana
fungsi-fungsi pemerintahan. Ada sebuah prinsip yang dilanggar yaitu
independensi. Meskipun pemerintah secara intern memerlukan pengawasan, namun
tidak seharusnya unit pengawasan tersebut berada dalam struktur
organisasinya. Kegiatan yang perlu dilakukan pemerintah dalam hal ini
semestinya hanya bersifat pengendalian sehingga aktivitas evaluasi atas
kinerja pemerintah harus dilakukan oleh organisasi di luar struktur eksekutif
agar lebih objektif. Jika tidak, unit pengawasan yang ada tidak akan efektif
dalam melaksanakan funginya. Contoh riil dari ketidakefektifan pola ini,
yakni ketika BPKP mengekspos temuan penyimpangan dana Jamsostek semasa Abdul
Latief menjabat sebagai Menaker. Ketika itu Presiden Soeharto langsung
”mengambil alih” penyelesaiannya dan akhirnya kasus itu memang selesai ‘tanpa
bekas’, alias tidak jelas juntrungnya karena ia secara tidak langsung juga
bertanggung jawab atas penyimpangan tersebut. Penutup Memang kajian sekitar keuangan
negara terhitung sangat jarang dipublikasikan bila dibandingkan dengan kajian
ekonomi politik kontemporer seperti skema pengembalian BLBI, memahami
Presiden dan perilaku para kaum elit politik kita dan kajian-kajian lainnya
yang tampaknya lebih populer. Namun demikian isu-isu seputar keuangan negara
ini juga tidak sepatutnya jika dikesampingkan karena penyelesaian atas
persoalan dasar yang dihadapi dalam pengelolaan dan pengawasan keuangan
negara pada hakekatnya juga akan mempunyai dampak politis dan ekonomi yang
signifikan, untuk tidak menyebutkan sebagai dahsyat. Keyakinan ini muncul
karena maraknya korupsi menjadi salah satu persoalan besar jika demokrasi
menjadi sebuah jalan yang kita pilih, sedangkan salah kunci sukses
demokratisasi ialah adanya akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik
mensyaratkan adanya ketertiban dan transparansi pengelolaan keuangan negara
dan kondisi ini hanya dapat dicapai jika sistem pengelolaan keuangan
pemerintahan benar-benar andal dan solid. Dan sampai titik ini kita sedang
menghadapi persoalan serius karena sistem akuntansi yang tengah kita anut
tidak menjamin akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan publik. Dengan demikian, pemberlakukan
sistem akuntansi baru yang memungkinkan pemerintah dapat melaporkan setiap
aktivitas dan transaksi keuangan negara secara bertanggung jawab (accountable) menjadi sebuah pilihan
yang harus diambil saat ini. Sistem tersebut setidaknya mampu menjadi media
untuk melaporkan seluruh kekayaan dan kewajiban pemerintah sehingga dari sana
akan dapat diketahui kekuatan keuangan negara secara memadai. Pemerintah juga
harus segera memberlakukan sebuah paket perundang-undangan baru sebagai
landasan yuridis dalam pengelolaan keuangan negara dan kegiatan pengawasan
terhadap pelaksanaan keuangan negara. Di samping itu, reformasi atau reposisi
aparat pengawasan fungsional juga harus menjadi agenda utama dalam rangka
menciptakan struktur pengawasan yang efisien dan efektif dalam menjaga aset negara
dari jarahan koruptor. Jakarta, 16
September 2000 |
|