|
KORUPSI,
PENGAWASAN KEUANGAN NEGARA DAN FORMAT
POLITIK Oleh Eko Yulianto Pembicaraan tentang
korupsi dan kolusi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang
sangat menarik untuk dikaji, apalagi dalam situasi seperti sekarang, dimana
ada indikasi yang mencerminkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Tuntutan akan pemerintahan yang bersih semakin keras, menyusul krisis ekonomi
akhir-akhir ini. Hal ini sungguh masuk akal, sebab kekacauan ekonomi saat ini
pun merupakan ekses dari buruknya kinerja pemerintahan di Berbicara tentang
korupsi dan kolusi di Berkaitan dengan
kasus tersebut tentunya juga tidak lepas dari publikasi hasil penelitian
dalam kesempatan terpisah yang pernah dilakukan oleh dua lembaga penelitian
yakni Transperancy International (TI) dari Jerman dan Political and Economic
Risk Consultancy (PERC) dari Dari dua fenomena
tadi, setidaknya ada dua hal yang menarik. Pertama, berkaitan dengan
publikasi hasil penelitian TI dan PERC, beberapa pejabat tinggi pernah
menyatakan bahwa hasil penelitian itu tidak harus dipercayai. Alasan yang
dikemukakan waktu itu antara lain validitas hasil penelitian itu diragukan,
sebab parameter yang digunakan belum tentu cocok dengan situasi dan kondisi
di Indonesia. Di samping itu, ada yang menduga bahwa publikasi hasil
penelitian itu merupakan sebuah upaya untuk mendeskreditkan Indonesia di mata
internasional. Pernyataan ini bernuansa defensif. Seakan-akan memang
dikemukakan untuk menangkis dan mematahkan fakta yang sebenarnya memang
tengah terjadi dan semakin merajalela. Kedua, bila dicermati dengan seksama,
penyelesaian kasus-kasus korupsi dan kolusi di Indonesia jarang tuntas.
Apalagi bila kasus tersebut bersentuhan dengan kelompok kepentingan tertentu.
Tidak ada yang tahu kemana perginya Eddy Tansil saat ini, bagaimana
kelanjutan kasus “kesalahan prosedur” di Mahkamah Agung, dan mengapa harus
ada rekayasa dalam kasus Udin. Hampir semua kasus korupsi dan kolusi itu
berakhir mengambang, pelan-pelan kabur dan akhirnya tidak meninggalkan jejak
sedikitpun. Kasus Jamsostek yang begitu menggegerkan, akhirnya harus mandeg
ketika ada pernyataan dari Menteri bahwa kasus tersebut sepenuhnya menjadi
tanggung jawab Presiden. Kasus tersebut akhirnya “selesai” dengan meninggalkan
sejumlah pertanyaan mendasar dengan tanda tanya besar.Apa yang sedang terjadi
dengan Indonesia? Mengapa korupsi dan kolusi semakin merajalela? Pertanyaan itu tidak
mudah untuk dijawab, sebab persoalan korupsi memiliki banyak dimensi. Korupsi
bukan sekedar persoalan etis moral, di mana sorotan tajam diarahkan pada
kurangnya iman dan rendahnya moralitas si pelaku, dan bukan pula melulu persoalan budaya. Dengan
menganggap bahwa persoalan korupsi hanya melibatkan salah satu dimensi
tersebut tidak akan membantu dalam mencari solusi yang tepat dan efektif.
Bagaimana bisa memastikan bahwa praktek korupsi akan berkurang hanya dengan
menambah jam terbang penataran P4. Begitu juga dengan imbauan dalam kotbah di
mesjid, gereja dan tempat ibadah lainnya. Tidak ada yang berani memberi
jaminan bahwa dengan model-model pembinaan semacam itu pelaku tindak korupsi
akan berkurang. Pemecahan yang lebih
komprehensif dapat dicari hanya jika persoalan korupsi dilihat dari
perspektif yang lebih luas. Fokusnya tidak lagi melulu pada soal etis-moral,
budaya atau pun hal-hal lain yang bersifat parsial, melainkan lebih pada
persoalan struktural yang sarat dengan muatan politik dan ekonomi dalam
kehidupan bangsa secara menyeluruh. Melalui pendekatan ini barangkali akan
dapat diketahui sebab utama (primary causes) merajalelanya korupsi dan
kolusi. Paper ini akan berusaha untuk mengenali sebab-sebab utama persoalan
ini dari kaca mata sebuah sistem dalam konteks kenegaraan. Asumsi dasarnya
ialah suatu negara pada dasarnya juga merupakan suatu entitas. Sebagai sebuah
entitas negara membutuhkan seperangkat sistem pengendalian yang berfungsi
untuk memastikan bahwa tugas-tugas atau aktivitas-aktivitas kenegaraan
beserta seluruh aspeknya berjalan dengan baik dan sesuai dengan sasaran. Di
samping itu sistem yang tengah diterapkan juga akan memberikan warna dan pola
tata kehidupan dalam masyarakat dalam segala dimensinya. Apabila sistem yang
berjalan efektif dan sesuai dengan kaidah-kaidah dan norma-norma yang
semestinya, maka praktis tata kehidupan masyarakat pun akan berjalan baik.
Sebaliknya, jika sistem itu tidak dilaksanakan atas dasar kaidah dan norma
tadi, maka sistem itu sudah dapat dipastikan tidak dapat menjamin berlangsung
tata kehidupan yang baik. Sistem yang gagal itu akan membawa implikasi pada
banyaknya penyimpangan dan penyelewengan. Pembahasan akan dimulai dengan pengenalan elemen-elemen pengendalian
atau pengawasan intern yang merupakan norma-norma yang harus ditaati demi
tercapainya tujuan suatu entitas sebagai suatu sistem. Dalam konteks
kehidupan negara, elemen ini sangat menentukan berjalan tidaknya suatu sistem
kenegaraan secara keseluruhan. Lalu, dibahas penyebab merajalelanya praktek
korupsi dan kolusi. dan urgensi pemberantasannya. Paper ini diakhiri dengan
kesimpulan yang berisikan upaya yang perlu ditempuh dalam menanggulangi
korupsi di Indonesia. Elemen
Sistem Pengawasan Intern Secara teoretis, ada
lima elemen yang menentukan suatu sistem pengawasan atau pengendalian intern
berjalan efektif atau tidak, yakni pemisahan tugas (separation of duty),
sistem wewenang dan prosedur yang baik, praktek-praktek yang sehat, pegawai
yang cakap, dan pemimpin yang punya komitmen terhadap sistem pengendalian.
Kelima elemen tersebut mutlak diperlukan agar sebuah entitas dapat mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Pemisahan tugas
dimaksudkan agar setiap bagian yang terlibat dalam suatu entitas dapat
bekerja independen dan memungkinkan tindakan saling koreksi. Dalam ilmu
ketatanegaraan, hal ini telah dikemukakan dengan baik oleh Montesqueu melalui
Trias Politica. Dalam teorinya ia menyatakan bahwa kekuasaan negara dibagi
menjadi tiga : legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Masing-masing mempunyai
tugas dan wewenang yang berbeda dan saling mendukung dalam proses
ketatanegaraan. Praktek-praktek yang
sehat berkaitan dengan bagaimana setiap bagian dalam suatu entitas melakukan
tugasnya sesuai dengan norma-norma yang telah digariskan. Dalam tataran
praktis, setiap personel dalam bagian harus mengetahui tugas-tugas yang
menjadi tanggung jawabnya. Demikian pula, kekuasaan yudikatif, eksekutif dan
legislatif terpisah satu sama lain dan masing-masing mempunyai jenis wewenang
yang berbeda. Kekuasaan-kekuasaan itu pun tidak boleh terkonsentrasi hanya
pada satu tangan, karena, di samping melanggar prinsip pemisahan tugas, hal
ini juga akan membuka kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Pegawai yang cakap
diperlukan untuk memastikan bahwa tugas-tugas pengendalian dilakukan oleh
orang yang terampil, menguasai bidangnya dan mempunyai integritas. Harus
dihindari perilaku personel yang membahayakan tugas pengendalian. Untuk itu
perlu diperhatikan bahwa orang-orang yang direkrut harus benar-benar
qualified. Terakhir, keberadaan seorang pemimpin yang benar-benar mempunyai
komitmen terhadap pengendalian intern juga sangat dibutuhkan. Lebih-lebih
dalam situasi di mana figur seorang pemimpin sangat berpengaruh terhadap
semua keputusan yang diambil. Seorang pemimpin merupakan kunci yang
menentukan apakah pengendalian intern dipatuhi atau tidak. Sebaik apapun
suatu sistem pengendalian disusun, namun apabila sang pemimpin memutuskan
untuk tidak mematuhinya, maka bubarlah sistem pengendalian suatu organisasi
dan selanjutnya dapat terjadi berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam
berbagai bentuknya. Sistem
Pengawasan Keuangan Negara Dalam konteks
tingginya angka korupsi di Indonesia, sistem pengawasan intern tersebut
berkaitan erat dengan sistem pengawasan keuangan negara. Sistem pengawasan
ini terdiri dari lembaga-lembaga pengawasan fungsional yang disusun
berlapis-lapis. Bila dikategorikan, lembaga pengawasan terdiri dari lembaga
intern, yang dikenal dengan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dan
lembaga ekstern atau aparat pengawasan ekstern pemerintah. APIP meliputi
lembaga pengawasan yang berada langsung di bawah Presiden, yakni Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan yang berada dibawah departemen
yakni Inspektorat Jenderal Departemen. Khusus untuk Departemen Dalam Negeri,
di samping terdapat Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri juga
terdapat lembaga pengawasan fungsional yang berkedudukan pada setiap wilayah
propinsi yang terdiri dari Inspektorat Wilayah Propinsi dan Inspektorat
Wilayah Kotamadya/Kabupaten. Lembaga pengawasan lain yang termasuk APIP
adalah Inspektorat Jenderal Pembangunan (Irjenbang). Sedangkan pengawasan
ekstern adalah suatu bentuk pengawasan yang dilakukan oleh unit pengawasan
yang sama sekali berasal dari luar lingkungan organisasi pemerintah
(eksekutif). Secara normatif posisi pengawas ektern adalah independen
terhadap pemerintah. Pengawasan ekstern dilakukan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (Bepeka), DPR dan masyarakat. Pengawasan yang dilakukan oleh DPR
dikenal sebagai pengawasan legislatif, yakni suatu bentuk pengawasan yang
dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat terhadap kebijaksanaan serta
pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Sedangkan Bepeka
berfungsi sebagai lembaga pengawasan fungsional di mana ia bertugas dalam
memeriksa pertanggungjawaban keuangan negara. Keuangan negara di sini
meliputi APBN, APBD, BUMN dan BUMD. Jadi, segala sesuatu yang menggunakan
kekayaan negara menjadi obyek pemeriksaan Bepeka. Dengan posisi demikian
Bepeka merupakan lembaga tertinggi di bidang pemeriksaan keuangan negara.
Bepeka mempunyai otoritas melebihi lembaga pengawasan manapun di Indonesia.
Di samping DPR dan Bepeka, pengawasan juga dilakukan oleh masyarakat.
Pengawasan oleh masyarakat ini justru dilakukan secara langsung baik lisan
maupun tertulis. Pengawasan ini dapat dilakukan secara perorangan atau secara
kelembagaan. Sebagai contoh ialah pengawasan yang dilakukan oleh pers melalui
publikasi media massa dan oleh lembaga sosial masyarakat (LSM). Wartawan,
baik dalam kapasitasnya sebagai warga masyarakat maupun pencari berita,
dituntut untuk mencari informasi berkaitan dengan penyimpangan dalam
pelaksanaan APBN/APBD dan mempublikasikannya dalam surat kabar. Gagalnya
Sistem Pengawasan Melihat komposisi
lembaga pengawasan seperti di atas, menarik untuk dikaji bahwa pada
kenyataannya tingkat penyimpangan pelaksanaan keuangan negara dalam bentuk
korupsi dan kolusi maupun bentuk lainnya masih relatif tinggi. Kenapa
demikian? Secara garis besar penyebabnya dapat dibedakan menjadi dua, yakni
kurang berdayanya fungsi dan peranan lembaga pengawasan intern/ekstern dan
format perpolitikan Indonesia yang kurang mendukung upaya pemberantasan
korupsi dan kolusi. Berkaitan dengan ketidakberdayaan lembaga pengawasan
terdapat empat faktor yang mempengaruhi. Pertama, komposisi aparat
pengawasan, baik intern maupun ektern, masih jauh dari memadai. Secara
kuantitatif, jumlah akuntan pemerintah boleh dibilang sangat sedikit. Pada
tahun 1996 pegawai BPKP tercatat sejumlah 8.000 orang, sedangkan Bepeka hanya
sekitar 2.000 orang. Dari jumlah tersebut, hanya sebagian kecil yang memiliki
latar belakang pendidikan akuntansi. Dengan demikian kemampuan akuntan
pemerintah mempunyai kemampuan sangat terbatas dalam melakukan pengawasan
seluruh komponen keuangan negara secara keseluruhan. Kedua, kedudukan
akuntan pemerintah dalam struktur organisasi lembaga pengawasan intern
relatif lemah. Hal ini dapat diketahui juga dari beragamnya bidang yang
menjadi tugas dan wewang pengawas intern, yakni bidang sosial politik,
aparatur/kepegawaian, perekonomian, kesejahteraan sosial, pendapatan dan
perijinan, BUMN/BUMD, kekayaan negara/daerah, pengelolaan belanja rutin, dan
bidang pengelolaan anggaran belanja pembangunan. Konsekuensinya, hanya
sedikit pegawai BPKP, Itjendep, Itwilprop, dan Itwilkab/kod yang mempunyai
latar belakang pendidikan akuntansi. Bahkan, dengan tercakupnya bidang
pemerintahan dan sosial politik sebagai bagian integral fungsi kepengawasan
lembaga-lembaga tersebut duduknya mantan camat, mantan bupati, atau perwira
ABRI sebagai pimpinan lembaga-lembaga tersebut menjadi sulit dihindari. Ketiga, kedudukan
Bepeka terhadap Pemerintah tidak sepenuhnya independen. Secara historis, hal
ini dapat diketahui dari penempatan anggota ABRI atau mantan pejabat pada
posisi ketua/wakil ketua. Sejak berdiri tahun 1947 sampai sekarang posisi
ketua dijabat masing-masing oleh R. Soerasmo, Hamengku Buwono IX, Umar
Wirahadikusumah, M. Jusuf dan Prof. Dr. JB. Sumarlin. Dari kelima pejabat
tersebut, empat diantaranya berasal dari ABRI dan satu mantan Menteri
Keuangan (sipil). Saat ini pun posisi wakil ketua Bepeka berasal dari ABRI,
yakni Mantan Kapolri Letjen (Pol) Koenarto. Di samping itu, secara
kelembagaan anggaran Bepeka berasal dari Pemerintah melalui APBN. Dan porsi
anggaran Bepeka setiap tahunnya rata-rata hanya sejumlah 0,043 persen dan
total APBN. Akibatnya, di satu pihak Bepeka cenderung lebih akrab dengan
Pemerintah dari pada dengan DPR. Di pihak lain karena kewajiban Bepeka
terhadap DPR hanya bersifat pemberitahuan, maka DPR sering tidak memiliki
informasi yang terinci mengenai hasil pemeriksaan Bepeka. Keempat, kurangnya
koordinasi antarlembaga pengawasan dalam melakukan tugas pemeriksaan. Hal ini
tidak saja melibatkan koordinasi antara APIP dan lembaga pengawasan ekstern,
melainkan juga antara sesama APIP sendiri. Seringkali temuan APIP tidak
didukung oleh lembaga pengawasan ekstern, demikian pula sebaliknya dan
prektek pengawasan yang dilakukan oleh antarlembaga pengawasan saling tumpang
tindih. Pada saat bersamaan bisa terjadi dua atau lebih lembaga pengawasan
mendatangi obyek yang sama. Hal ini tidak saja berdampak pada efektivitas
pengawasan, melainkan juga menimbulkan citra negaif terhadap lembaga
pengawasan secara menyeluruh. Format
Perpolitikan Di samping
ketidakberdayaan lembaga pengawasan, format dan iklim perpolitikan Indonesia
juga turut menentukan semakin merajalelanya praktek korupsi dan kolusi. Ada
lima hal yang menandai kurang kondusifnya iklim dalam pemberantasan korupsi
dan kolusi. Pertama, praktek kenegaraan korporatis. Praktek kenegaraan di
Indonesia secara keseluruhan dapat dikategorikan sebagai negara korporatis.
Dalam praktek kenegaraan seperti itu, pembagian kekuasaan antara eksekutif,
legislatif dan yudikatif sulit dikembangkan. Bahkan, dalam bidang politik,
kehadiran partai oposisi diharamkan. Akibatnya, susunan struktur kenegaraan
yang meletakkan birokrasi pemerintahan di puncak piramida kekuasaan sulit
dihindari. Dengan kata lain, ketiga jenis kekuasaan cenderung terpusat pada
satu tangan. Struktur semacam ini mengakibatkan pengawasan keuangan negara tidak
berjalan secara efektif dan praktek penyimpangan dalam pengelolaan keuangan
negara cenderung melembaga. Kedua, arogansi
pemerintah. Sikap seperti ini tercermin ketika pemerintah legitimasi
kekuasaan digunakan secara represif terhadap masyarakat. Seringkali dijumpai
sikap oknum yang menempatkan masyarakat sebagai obyek yang harus dikuasai,
diatur dan dipaksa demi sebuah kebijaksanaan. Sehingga masyarakat berada pada
posisi yang lemah dan tidak berdaya. Apa pun yang muncul dari masyarakat
selalu harus diwaspadai kalau-kalau ada upaya kelompok tertentu yang ingin
menentang dan menjatuhkan pemerintah. Hak bersuara acap kali dibungkam atas
nama stabilitas nasional. Bila ada sekelompok masyarakat yang kritis dan
vokal buru-buru dicurigai dan bila perlu “diamankan” supaya gaungnya tidak
mempengaruhi masyarakat luas. Dengan demikian, pemerintah seakan berada di
atas angin dan tidak tersentuh dan terusik oleh suara-suara dari rakyat.
Kesalahan yang dilakukan oleh seorang pejabat bisa saja tidak membawa
konsekuensi terhadap jabatannya dan masyarakat tidak bisa menuntutnya lebih
jauh. Ketiga, arus
informasi dalam masyarakat tidak seimbang. Pemerintah sering tidak transparan
dalam menyampaikan informasi yang dibutuhkan masyarakat luas. Hal ini juga
berkaitan dengan sikap pemerintah, bahwa rakyat tidak perlu tahu semuanya.
Informasi sering dibungkus dengan tata bahasa para pejabat yang indah tetapi
sulit dimengerti pesan sebenarnya, sehingga membingungkan dan sering malah
membuat pusing. Ketika Bank Dunia dan IMF datang untuk membahas krisis
moneter yang tengah terjadi belum lama ini, tidak banyak orang yang tahu
persis kesepakatan apa yang diperoleh dalam pembicaraannya dengan pemerintah.
Akibatnya, banyak spekulasi beredar di masyarakat dan akhirnya justru membuat
situasi semakin tidak pasti. Lalu, banyak masyarakat panik, gelisah dan tidak
percaya terhadap rupiah. Perburuan dolar semakin menjadi-jadi sehingga
kondisi perekonomian Indonesia semakin terpuruk. Dari sini dapat dipahami
bahwa kurangnya transparansi pemerintah akan menyulitkan kontrol dari
masyarakat. Apalagi jika sebuah kasus melibatkan kelompok kepentingan
tertentu, serta merta arus informasi menjadi tidak jelas dan bahkan lama-lama
menghilang. Lagi-lagi masyarakat tidak tahu kelanjutannya dan tidak bisa
meminta pertanggungjawaban lebih jauh. Keempat, pola
rekruitmen birokrat yang diwarnai nepotisme. Pola ini, bila diterapkan secara
selektif sebenarnya bisa mendorong terciptanya kinerja yang lebih baik. Salah
satu contohnya adalah perusahaan-perusahaan Cina. Perkembangan perusahaan
Cina yang begitu pesat sebenarnya didukung oleh pola nepotisme dalam
rekruitmen pegawai-pegawainya. Mereka sering mengajak sanak familinya untuk
ikut mengurus bisnisnya, namun dengan catatan yang benar-benar mampu. Dalam
lingkungan birokrasi Indonesia pola nepotisme nampaknya juga dianut sejak
lama. Hanya saja, seringkali rekruitmen tidak didasarkan pada kualifikasi
tertentu, tetapi lebih pada famili siapa. Pertimbangannya seringkali
didasarkan atas penilaian subjektif tanpa melihat kapabilitas dari yang
bersangkutan. Contoh kongkret adalah pengangkatan anggota DPR hasil pemilu
lalu. Terlihat jelas bahwa komposisi keanggotaan DPR kali ini lebih bernuansa
“kekeluargaan”. Dengan komposisi demikian, wajar jika banyak kalangan
meragukan kesungguhan dan kemampuannya dalam mewakili aspirasi rakyat. Secara
normatif, kedudukan DPR adalah sejajar dengan Pemerintah. Namun, jika melihat
kondisi tersebut bisa jadi DPR justru berada pada posisi subordinat, artinya
Pemerintah mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada DPR. Dengan posisi
seperti ini praktis telah membuat DPR tidak dapat melakukan kontrol terhadap
Pemerintah. Selama orde baru belum pernah DPR menolak rancangan APBN yang
diajukan oleh Pemerintah. Dan ketika terjadi penyimpangan oleh Pemerintah,
misalnya kasus Jamsostek, DPR tidak dapat berkutik sebab kasus itu justru
melibatkan beberapa anggota DPR sendiri. Kelima, kurangnya
komitmen pemerintah. Dalam banyak hal, pemerintah selalu memberikan harapan
kepada masyarakat. Janji-janji yang pernah dilontarkan dalam pemilu sering
menjadi slogan yang tidak mempunyai makna sama sekali dan sekedar lips
service. Tekad pemerintah untuk menunda sejumlah proyek berkaitan dengan
krisis moneter ternyata tidak dilaksanakan seratus persen. Ada beberapa
proyek yang “dikecualikan” dengan berbagai macam alasan. Di sini terlihat
dualisme sikap pemerintah yang menunjukkan betapa pemerintah kurang
bersungguh-sungguh dalam menangani krisis ekonomi. Dalam kaitannya dengan
praktek korupsi, tidak sedikit oknum yang terbukti terlibat namun masih bebas
ke mana-mana, seakan-akan tidak mempunyai kesalahan apapun. Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971 yang mengatur tentang tindak pidana korupsi seakan-akan
tidak mempunyai kekuatan apa pun untuk menjerat para koruptor. Urgensi
Pemberantasan Korupsi Berdasarkan kondisi
tersebut dapatlah dipahami bahwa persoalan korupsi sudah sedemikian
kompleksnya. Hal ini nampak dari berbagai penyebab, yang sekaligus merupakan
titik awal munculnya korupsi. Praktek korupsi sudah sedemikian menggejala dan
merasuki berbagai aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Konsekuensi
logis praktek korupsi sudah terpapar di atas. Sehingga sikap dan tindakan
terpenting saat ini adalah tidak memberikan ruang sedikitpun untuk tumbuh dan
berkembangnya korupsi. Secara pragmatis dapat dikatakan bahwa pemberantasan korupsi sangat
mendesak saat ini sebab kesepakatan pasar bebas akan segera diberlakukan. Hal
ini tidak dapat dihindari sebab situasi global ini memang mengharuskan
demikian. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, di mana semua aspek, baik
ekonomi, sosial budaya maupun politik saling terkait, bangsa Indonesia mau
tidak mau harus ikut arus tersebut. Tahun 2003 kesepakatan AFTA harus dilaksanakan,
begitu juga dengan APEC pada tahun 2020. Untuk dapat bermain dalam
liberalisasi ekonomi tersebut bangsa Indonesia harus benar-benar kompetitif.
Competitiveness yang harus dimiliki adalah efisiensi di segala bidang, dari
bidang yang dikuasai swasta sampai pada efisiensi birokrasi. Dan, kondisi
seperti itu hanya dapat dicapai apabila praktek korupsi dan kolusi sudah
tidak ada lagi. Namun demikian,
terlepas dari ada tidaknya globalisasi, persoalan koruspi memang pantas untuk
diperangi. Ada dua alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, secara universal,
dapat dimengerti untuk apa sebuah negara didirikan, untuk apa suatu
pemerintahan dibentuk dan untuk siapa pemerintah bekerja. Jawaban atas tiga
pertanyaan tersebut merupakan sesuatu hal yang sangat hakiki. Sehingga,
segala bentuk penyimpangan, entah itu kekerasan, manipulasi atau korupsi,
merupakan hal yang sudah tidak sesuai dengan hakekat keberadaan negara.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut merupakan bentuk pengingkaran akan
keberadaan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan negara yang paling tinggi. Kedua, secara historis, telah disepakati tujuan pembentukan suatu
pemerintah pada awal berdirinya Republik Indonesia yang dinyatakan pada
Pembukaan UUD 1945. Di sana secara eksplisit dinyatakan bahwa tujuannya adalah
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut aktif dalam menciptakan perdamaian
dunia. Bila dikaitkan dengan hal ini, praktek korupsi dan kolusi sudah pasti
bertentangan dengan tujuan kedua. Sudah terbukti secara makro bahwa korupsi
dan kolusi telah memberikan dampak berupa buruknya kinerja perekonomian.
Krisis moneter belakangan ini sebenarnya merupakan akibat dari ulah para
koruptor di negeri ini. Bank-bank tidak akan tutup dan pengangguran tidak
akan meningkat drastis apabila pencairan kredit dilakukan sesuai dengan
ketentuan. Kesenjangan ekonomi tidak akan begitu mencolok andaikata kebijakan
pembangunan yang dipilih lahir dari keputusan yang benar-benar fair, sesuai
prioritas dan mengutamakan masyarakat kecil. Ekonomi biaya tinggi tidak akan
menjadi penghalang pembangunan seandainya pungutan tidak resmi, uang pelicin
dan uang sogokan lainnya tidak menggejala dan menjadi kebiasaan. Kesimpulan Dari uraian tersebut
dapat disimpulkan bahwa korupsi bukan saja persoalan lemahnya salah satu
dimensi baik itu etis-moral, maupun sosial budaya. Bukan pula lemahnya law
enforcement seperti diperkirakan
banyak kalangan. Sebab, law enforcement itu sendiri bukanlah merupakan
primary cause, melainkan suatu akibat dari persoalan yang lebih luas, yang
serupa dengan penyebab munculnya korupsi. Begitu juga dengan political will
yang sering digaung-gaungkan demi terciptanya pemerintahan yang bersih.
Kurangnya atau bahkan ketiadaan political will ini pun bukanlah pemicu
tingginya angka korupsi di Indonesia, tetapi juga merupakan sebuah masalah
yang berdiri sendiri sebagai akibat dari persoalan lain yang lebih besar dan
kompleks. Persoalan korupsi sebenarnya lebih merupakan masalah struktural dan
hal ini berkaitan dengan sistem-sistem kenegaraan yang berdimensi
ekonomi-politik. Dua indikasi utama yang menjadi pemicu merajalelanya korupsi
dan kolusi yaitu kegagalan sistem pengawasan keuangan negara dan format
perpolitikan yang kurang mendukung pemberantasan korupsi dan kolusi itu
sendiri. Untuk itu upaya yang
perlu dilakukan bukan lagi berorietasi pada peningkatan dan koreksi yang
bersifat parsial, namun lebih pada penciptaan iklim yang membatasi ruang
gerak korupsi. Ibaratnya, agar sebuah tanaman bisa tumbuh dengan subur dan
berbuah, maka lahan tempat ia ditanam harus baik, dalam arti tanahnya subur
dan cocok dengan jenis tanaman. Dengan demikian hal utama yang harus
dilakukan adalah mempersiapkan lahan sedemikian rupa sehingga mendukung
tumbuhnya tanaman tersebut dan menghambat munculnya tanaman lain yang
bersifat parasit dan merugikan. Begitu
juga dengan pemerintahan yang bersih dapat tercipta bukan melalui banyaknya
perangkat hukum yang menyertainya, tetapi melalui penciptaan iklim yang
menjamin bahwa untuk melakukan penyimpangan, seseorang -entah itu pegawai
rendahan maupun pejabat tinggi atau bahkan masyarakat luas, harus berpikir
seribu kali. Di Indonesia, semua
perangkat yang diperlukan sudah ada, baik dari segi kelembagaan maupun
perangkat hukumnya. Lembaga-lembaga pengawasan dibangun berlapis-lapis.
Demikian juga aparat penegak juga sudah ada beserta perangkat hukumnya berupa
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Pemberantasan Korupsi. Sehingga yang
diperlukan saat ini bukan menambah atau membentuk lembaga baru, sebab pada
dasarnya pembentukan ini justru akan menimbulkan banyak masalah baru. Yang
diperlukan saat ini adalah adanya pembaharuan politik. Pembaharuan ini
mencakup upaya yang berorientasi pada pemberdayan semua perangkat baik aparat
maupun hukum yang telah ada termasuk pemberdayaan masyarakat luas.
Pemberdayaan ini berkaitan dengan upaya mendorong perangkat dan masyarakat
agar dapat senantiasa peka dan fleksibel terhadap arus perubahan yang tengah
terjadi. Pemberdayaan merupakan upaya terbuka untuk membiarkan masyarakat
menjadi kritis dan korektif terhadap tata kehidupan kenegaraan tanpa ada
prasangka. Karena, apa yang ingin dicapai dari pemberdayaan ini adalah
situasi yang lebih baik, yang memungkinkan bangsa Indonesia kreatif dan maju.
Secara politis, hal ini dapat dilaksanakan apabila pemerintah tidak lagi
represif, melainkan kooperatif dengan rakyat yang dipimpinnya. Melalui
pembaharuan politik ini juga diupayakan keberadaan lembaga-lembaga perwakilan
publik yang semakin berwibawa, sehingga berdampak terhadap semakin efektifnya
mekanisme saling kontrol antara negara dengan masyarakat, antara aparat
pemerintah dengan anggota masyarakat dan antara para atasan dan bawahan,
sehingga berbagai perilaku tidak jujur seperti korupsi, kolusi, manipulasi,
pungli dan lain sebagainya dapat terus terkurangi. Yogyakarta,11 September 1999 |
|