|
BUMD: POTRET BURAM PERUSAHAAN
DAERAH Oleh : Eko Yulianto
Semenjak Undang-Undang tentang Otonomi Daerah diterapkan persoalan
kemampuan daerah secara ekonomi dan politis pun ramai diperbincangkan. Salah
satu isu ekonomi yang menarik untuk didiskusikan dalam hal ini yakni seputar
daya dukung sumber pendapatan daerah dalam menggantikan penerimaan yang
diperoleh dari pemerintah pusat. Isu ini memang strategis mengingat
pelaksanaan otonomi juga dapat diartikan sebagai kemandirian daerah dari sisi
pembiayaan pembangunan. Selama ini sumber penerimaan daerah terdiri
dari sumbangan pemerintah pusat, pajak daerah dan penerimaan lain seperti
laba perusahaan daerah. Dengan berkurangnya porsi subsidi pemerintah pusat,
tidak ada jalan lain yang perlu dilakukan pemerintah daerah selain menggali
dan mengotimalkan sumber pendapatan asli daerah. Yang menjadi persoalannya
sekarang, mampukah daerah melakukannya mengingat keterbatasan sumber
pendapatan daerah, khususnya bagi daerah yang miskin sumber daya alam?
Jawabannya akan sangat tergantung pada proses “restrukturisasi” sumber-sumber
penerimaan daerah. Saya katakan restrukturisasi sebab pemerintah daerah
sebenarnya sudah mempunyai sumber-sumber pendapatan yang potensial namun pada
saat ini berada dalam kondisi yang menyedihkan. Yang diperlu dilakukan
pemerintah daerah saat ini yaitu ‘memolesnya’ kembali agar tampak molek dan
cantik. Salah satu sumber pendapatan potensial yang perlu dipoles itu tidak lain perusahaan daerah atau dikenal dengan badan usaha
milik daerah (BUMD). Persoalan Serupa
Secara umum kondisi perusahaan
daerah dapat dikatakan sama dengan apa yang dialami oleh kebanyakan BUMN
kita. Persoalan BUMD kurang terekspos karena memang secara makro posisinya
kurang strategis bila dibandingkan dengan BUMN. Dilihat dari misi
pendiriannya, BUMN jelas memiliki peran yang sangat signifikan dalam
mendukung perekonomian nasional. Sebegitu pentingnya, pemerintah pun perlu
membuat kementrian khusus yang menangani BUMN. Akan tetapi dengan
diberlakukannya UU tentang Otonomi Daerah tersebut, peranan BUMD harus mulai
diperhatikan. Bila dibuat pembandingan antara BUMN dan BUMD, akan terlihat kesamaan
permasalahan di antara keduanya. Pertama, masalah efisiensi. Kebanyakan BUMD di Indonesia beroperasi di bawah
kondisi yang sangat tidak efisien. Terjadi pemborosan dana di sana-sini
karena para pengelolanya tidak memiliki keahlian yang cukup. Terkadang
keputusan-keputusan manajerial berkaitan dengan investasi baru, penentuan
tarif atau keputusan lain diambil secara tidak profesional. Pekatnya nuansa
kolusi, korupsi dan nepotisme menandakan ketidakprofesionalan para pengelola
BUMD tersebut. Di samping itu, inefisiensi BUMD juga bersumber dari
pemanfaatan teknologi yang sudah ketinggalan jaman. Kebanyakan BUMD
beroperasi dengan mesin-mesin peninggalan kolonial yang umurnya sampai saat
ini sudah puluhan tahun. Bahkan ada mesin yang umurnya lebih tua dari
karyawan yang paling tua sekalipun. Dengan kondisi ini, jelas beban
pemeliharaan mesin tidak sebanding dengan output yang diperoleh dari mesin
tua tersebut. Kedua, masalah intervensi dan birokrasi. Bila saat
ini banyak BUMD yang kalah bersaing dengan sektor swasta dan akhirnya tumbang
di tengah jalan, salah satu penyebabnya adalah besarnya campur tangan dan
lambannya pemerintah daerah dalam mengantisipasi perubahan situasi dan
kondisi bisnis. Selama ini semua keputusan bisnis baik yang bersifat
strategis maupun keputusan-keputusan konvensional lainnya harus selalu ijin
kepada pemerintah. Repotnya, respon pemerintah seringkali, bahkan dapat
dikatakan selalu, lambat. Maklum, sekali lagi berurusan dengan birokrasi.
Pemerintah akan selalu "mempertimbangkan", "menampung",
lalu "membahas" usulan para direksi perusahaan daerah. Keputusannya
akan diberitahukan kemudian, bisa dalam hitungan bulanan atau bahkan tahunan.
Bisa dibayangkan, jika suatu BUMD mengajukan proposal investasi mesin baru
saat ini dan keputusan "ya" atau "tidak" baru datang
setahun kemudian. Ketiga, pengendalian dan pengawasan. Selaku pemilik, Pemerintah Daerah
memiliki kewenangan untuk mengawasi perkembangan BUMD-BUMD di wilayahnya.
Pemerintah daerah biasanya membentuk badan pengawas, yang bertindak seperti dewan komisaris pada perusahaan swasta. Anggotanya terdiri dari para pejabat
di lingkungan pemda, yang terkadang tidak mempunyai latar belakang bisnis
sama sekali. Biasanya, badan pengawas ini tidak melakukan kegiatan sesuai
tugas dan fungsinya, yaitu selaku wakil pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya
perusahaan daerah. Dualisme Peranan
BUMD
Secara konseptual, BUMD didirikan
atas dasar dualisme fungsi dan peranan, yang keduanya sangat sulit, jika
tidak dapat dikatakan mustahil, untuk dipadukan. Dalam tataran operasionalnya,
peran dan fungsi ini dilaksanakan secara distortif. Fungsi service lama-kelamaan bergeser sebagai
fungsi ekploitatif. Hal ini nampak, misalnya ketika PDAM menetapkan tarif
baru. Manajemen selalu berargumen bahwa kenaikan tarif itu diperlukan untuk
menyesuaikan perkembangan cost of
product, atau untuk menutup kerugian yang dideritanya. Tetapi bila dicermati,
tingginya biaya atau munculnya kerugian itu disebabkan oleh pengelolaan
jaringan yang kurang profesional atau sebab lain yang berkaitan dengan
inefisiensi. Jika demikian keadaannya, hal itu telah menunjukkan kekacauan dalam
menerjemahkan peran dan fungsi di atas. Namun demikian, wajar-wajar saja jika
terjadi. Rasanya memang sulit, jika sebuah institusi dituntut untuk memenuhi
keduanya. Apalagi, sampai sekarang PDAM bisa dikatakan satu-satunya
perusahaan yang melayani kebutuhan air bersih di daerah alias monopoli. Tanpa
ada pesaing dalam lingkungan bisnis serupa, akan sulit bagi PDAM untuk
melakukan benchmarking, apakah
operasinya berjalan efisien atau tidak. Ambiguitas
Pemerintah
Sementara itu, pemerintah daerah
sendiri terlihat ambigu dalam kapasitasnya sebagai pemilik perusahaan daerah.
Pemerintah daerah yang seharusnya mempunyai kewajiban membina dan mengawasi,
justru cenderung eksploitatif terhadap perusahaan daerah. Acapkali,
perusahaan daerah dijadikan sapi perah. Pemerintah selalu menargetkan
penerimaan APBD dari perusahaan daerah. Tanpa menghiraukan, apakah perusahaan
untung atau rugi, ia tetap saja menyetorkan dana pembangunan daerah sesuai
yang ditargetkan. Praktik ini tentu saja menyulitkan perusahaan daerah
sebagai institusi bisnis. Bagaimana bisa menjamin kontinuitas operasi
perusahaan, jika perusahaan daerah tetap saja dimintai setoran manakala ia
menderita kerugian? Contoh riil ekploitasi atas
perusahaan daerah oleh pemerintah yaitu kasus utang Persebaya kepada PDAM
Kodya Surabaya yang sempat terekspos di sebuah media beberapa tahun lalu.
Secara prosedural, bagaimana mungkin PDAM mengeluarkan uang ratusan juta
rupiah untuk dipinjamkan sebagai dana operasional sebuah kesebelasan? Dilihat
dari kacamata apa pun hal ini sebetulnya tidak dapat dibenarkan. Dari sisi
bisnis, jelas hal itu merupakan kerugian besar bagi perusahaan, karena ia
meminjamkan dana begitu besar tanpa bunga. Dari sisi aturan pun, PDAM juga
tidak punya kewajiban lain kepada pemerintah daerah kecuali menyetorkan dana
pembangunan sebesar 55% dari laba bersih. Kasus-kasus serupa akan ditemukan
dalam jumlah banyak bila dilakukan penelitian lebih jauh. Misalnya, pemberian
fasilitas-fasilitas khusus kepada pejabat tertentu, baik berbentuk setoran
gaji buta, seperti keberadaan badan pengawas, atau bentuk fasilitas lain yang
cenderung merongrong keuangan perusahaan.
Quo
vadis BUMD?
Lalu bagaimana? Pertanyaan ini
sering muncul ketika pemerintah sendiri berusaha mengatasi permasalahan
tersebut. Yang pasti, pemerintah daerah tidak mungkin terus-terusan
menerapkan praktik-praktik yang tidak sehat seperti di atas. Yang perlu
dilakukan justru harus melakukan serangkaian upaya sistematis untuk
merestrukturisasi BUMD di wilayahnya. Apalagi, jika kemandirian daerah yang
diterjemahkan dalam konsep otonomi menjadi suatu keharusan di pada saat ini.
Mau tidak mau, kalau ingin memperoleh bagian laba, perusahaan daerah harus
dalam keadaan sehat dan mampu menjalankan fungsinya secara wajar. Di samping
itu masyarakat juga tidak selalu jadi objek penderita atas kebobrokan yang
diderita perusahaan daerah. Upaya perbaikan kinerja BUMD juga
harus dilakukan seperti BUMN saat ini. Secara sederhana restrukturisasi
dilakukan dengan mengubah mindset manajemen dari berorientasi
birokratis menjadi bisnis-profesional. Nuansa birokratis perlu dipangkas dari
tubuh perusahaan daerah agar keputusan-keputusan bisnis dapat diambil dengan
cepat. Perusahaan daerah harus diberi kewenangan sepenuhnya untuk menentukan
kebijakan demi [BEPEK1]kemajuannya
sendiri. Pemerintah daerah tidak harus ikut campur tangan yang cenderung
"mengobok-obok" kegiatan operasional maupun keuangan perusahaan.
Keterlibatan pemerintah dalam tubuh perusahaan telah terbukti membebani dan
cenderung membatasi gerak dan inovasi perusahaan. Format BUMD sebagai perusahaan
juga perlu dipikirkan untuk menjamin kelangsungannya dalam jangka panjang.
Jika mau mencontoh upaya reformasi BUMN, BUMD harus diarahkan menjadi
perusahaan publik yang kepemilikannya didasarkan atas saham-saham. BUMD harus
berubah menjadi PT yang sahamnya terdaftar dalam bursa saham. Konsekuansinya,
perubahan manajemen secara mendasar harus dilakukan. Hal terakhir yang patut diupayakan
oleh pemerintah, yakni mengeluarkan deregulasi yang memungkinkan perusahaan swasta
memasuki wilayah bisnis yang selama ini dikuasai oleh perusahaan daerah,
misalnya pengelolaan air bersih. Di samping demi kepentingan masyarakat,
karena akan terdapat banyak pilihan untuk jenis layanan kebutuhan tertentu,
hal ini juga akan berdampak positif bagi persaingan bisnis. Perusahaan daerah
akhirnya dituntut untuk beroperasi dalam skala yang efisien, sehingga dalam
jangka panjang ia tidak hanya bisa survive, melainkan
juga akan dapat bermain dalam dunia bisnis yang persaingannya semakin mengglobal. |
|